(35) Tangis Anggraeni

kidung_malam35

Anggraeni mensyukuri atas hidup yang masih dianugerahkan kepada
mereka berdua (karya Herjaka HS, 2008)


Sang Guru bertanya kepada muridnya,

“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”

“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”

Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.

Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.

Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal

“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”

“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”

Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.

Panas, panas dan semakin panas.

“Aduh! ”

Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.

Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,

“Kangmaaass!”

Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.

Cincin Mustika Ampal yang diambil paksa oleh Durna merupakan tragedi seorang murid yang memilukan. Sosok guru yang jauh-jauh dicari dan diharapkan dapat menambah keilmuannya ternyata malah tega merampas harta ilmu yang telah dimiliki si murid. Ekalaya telah terhempas dari harapannya. Ia menjadi tumbal ambisi Durna yang tidak menginginkan ilmu-ilmu Sokalima berada setingkat lebih rendah dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari luar Sokalima.

Dengan kejadian tersebut, Durna dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa pusaka Gandewa yang diandalkan dan ilmu-ilmu Sokalima tingkat tinggi yang dikuasai Harjuna belumlah cukup untuk menandingi Cincin Mustika Ampal.

Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.

Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.

“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”

“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”

Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.

Sungguh ajaib!

Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.

“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”

“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”

Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.

Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.

Waktu belum bergeser jauh dari tengah malam, di biliknya Ekalaya mulai pulih kesadarannya. Aswatama yang sejak tadi membantu Anggraeni merawat Ekalaya merasa iba terhadap tragedi yang menimpa sahabatnya.

“Kakang Mbok Anggraeni sudahlah, janganlah kau habiskan air matamu di bilik yang sempit ini. Bukankah dengan demikian hatimu akan bertambah sesak?”

“Dhimas Aswatama, sesungguhnya tangisku bukanlah tangis yang menyesakkan dada, tetapi tangis yang membebaskan. Bebas dari kekhawatiran setelah tidak mempunyai Cincin Mustika Ampal. Aku terharu karena masih diperkenankan mendampingi Kakangmas Ekalaya yang saat ini sudah mulai sadar. Batinku mengatakan bahwa hidup suamiku jauh lebih berharga dibandingkan dengan Cincin Mustika Ampal. Bagiku peristiwa ini bukan tragedi nasib kami berdua, melainkan wujud dari belas kasihNya.”

Leave a comment